Apa yang diributkan dari identitas? Identitas toh identitas, sebenarnya pertanggung jawaban tentu akan lebih relevan pada apa yang dilakukan secara konsisten dan progress atas waktu ke waktu. Tentu pada diri sendiri, bukan pertanggung jawaban pada orang lain.
Jauh menjadi bijak, dan apa pula itu bentukan bijak. Tapi memang benar apa yang bisa dipegang dari identitas selain sebatas identitas itu sendiri? apa yang bisa dipercaya selain hanya identitas itu sendiri? Sisanya pengalaman objektif personal ataupun kapabilitas kepercayaan karena apa yang sudah dilakukan jauh lebih punya andil sebagai penilaian.
Terlebih dengan mudahnya seseorang sekarang bisa berlagak, bertindak secara instant dengan apa yang mereka mau citrakan. Identitas menjadi jangankan penting, mendekati relevan pun kadang tidak.
Juga tak pernah salah jika tetap menggunakan identitas, memang, gunakan identitas sebagai hanya identitas. Kapabalitas? lain cerita. Bentuk paripurna? jangan harap. Sisanya saya kira semua kita tahu akan itu.
Apalagi punk, kapan dia hidup ketika Crass sudah merumuskan banyak alasan bagaimana dia bisa mati. Sama hal dengan medium kekerasan yang beberapa kawan pilih, pernah satu kali muncul perdebatan untuk menemukan bentuk agak lebih bermoral dari kekerasan, anarkisme dan perubahan. Ambil konsekuensinya, jika memang kekerasan diperlukan yah lakukan, jika memang kekerasan itu memang tak bermoral, yah biarkan, toh itu pilihan medium, toh itu memang mesti dilakukan, tergantung konteks tapi sisanya adalah bagaimana konsekuensi memang ada dalam apapun pilihan yang diambil.
Apalagi jika menilik dari semisal aksi protes, sebagian yang menolak akan label anarkis atau anarkhis saat aksi sopir Blue Bird beberapa waktu lalu. Menolak terwakili karena mereka tak berpakaian hitam? tidak dari punk? atau tidak dengan identitas gerakan kiri lainnya? Satu yang benar adalah mereka melakukan medium yang dipikir bisa dilakukan untuk merebut & mempertanyakan hak mereka : membakar ban, memblokade tol, membuat keributan di jalan. Lantas tak salah sepenuhnya juga disebut anarkis? Kan perkara label, identitas. Tak salah sepenuhnya. Tapi tentu salah sepenuhnya untuk coba menemukan dan memperdebatkan sisi baik dari anarkisme, memperjuangkan anarkisme bukan sebagai sebuah kerusakan. Bagaimana jika perubahan itu benar butuh kekerasan? Dan pembentukan baru harus dengan penghancuran yang lama, bukan?
Akhir tahun lalu, kawan-kawan lokal pun tak coba terjebak dengan identitas ketika punk dituduh sebagai pelaku pemerkosaan di bawah Ampera, kawan-kawan responsif karena memang isu itu dekat secara emosional, dan akhirnya kritik pun bukan berakhir pada klarifikasi punk itu baik, tapi pada kecacat logikaan total jurnalistik sumber berita itu bermuara, tak pernah ada pemerkosaan malah selain dari adanya penulisan berita yang tak akurat, jauh dari akurat. Dengan menggunakan identitas tadi, kawan-kawan berhasil memindahkan konsentrasi ke fokus berikutnya, membuka lagi kesadaran kesadaran baru dalam inisiasi Punk Against Rape menjadi kampanye anti-misoginis, kekerasan seksual dan kesetaraan gender bekerjasama dengan banyak lingkaran dan organ, melampaui beberapa kampanye sebelumnya. Sekali lagi, jika berfokus identitas, saya pikir tak akan kemana-mana. Kawan-kawan menggunakannya.
Tak pernah begitu optimis memang sedari “Make Punk Threat Again” hanya menjadi slogan yang begitu banal. Walau tetep dengan catatan yang tak boleh disingkirkan, malah utama secara personal : banyak hal memang berawal dari sana, berawal dari punk, jejaring punk, musik dan scene. Saya salahsatu yang tetap akan dengan lantang mengamini jika punk dapat menyelamatkan hidup. Saya salahsatu yang terselamatkan. Dengan standar berbeda tentu.
Kemarin muncul lagi hal yang tak jauh berbeda. Di sosial media (sialnya) satu gambar subversi dari artwork Milisi Kecoa “Kalian Memang Menyedihkan,” cuma diambil artwork utama Amenk, ditambahkan teks & tak lupa dengan balon teks : PANK LO GAK AKAN NOLONG LO DI AKHERAT SHOB.
Seperti halnya identitas yang saya bilang sebelumnya, ketika pertama lihat pun, sedikit menyeringai adalah opsi paling baik: tak banyak menghabiskan tenaga dan tak merepotkan. Ini hanya satu kecil perdebatan menghabiskan tenaga dari perdebatan Ayam & Telur atau Agama & Negara. Dua hal memang yang tak pernah diperdebatkan, dipisahkan, lain satu sama lainnya, berbeda tangga sama sekali.
Satu kejelasan yang pertama : Jika kamu berpikir akhirat, saya pikir punk bukan pilihan yang tepat.
Kejelasan kedua : jika kamu intens dan konsekuen dengan punk, saya pikir akhirat bisa sedikit disingkirkan.
Kejelasan ketiga : kejelasan yang saya tawarkan tak sepenuhnya benar. Pasti.
Semenjak memang keduanya (punk dan religius) benar-benar personal, membicarakannya atas orientasi aktualisasi diri juga kadang cukup konyol. Seperti terminologi modern jika agama seperti alat kelamin, bagaimana setiap orang pasti mempunyai satu dan lucu jika itu ditunjuk tunjukkan, diarak dan diperlihatkan dengan bangga. Pun punk dan religius juga tak jauh berbeda. Pilihan sangat bisa personal, bisa saja salahsatunya dengan konsekuen masing-masing menjadi keduanya sekaligus (punk tapi taat beragama, atau sebaliknya), dengan konsekuennya tetap di masing-masing. Jadi menyeringai ketika pertama melihat meme ini tetap jadi pilihan yang baik dan tak boros tenaga.
Hal menarik ternyata saya dapati setelah beberapa waktu meme ini menyeruak, beberapa kawan yang kemarin sempat intens dengan apa yang kawan-kawan tetap lakukan sekarang, kawan-kawan lain yang sekarang lebih memilih untuk lebih taat beragama menyebarkan hal yang sama. Seolah memperingatkan lagi kawan-kawan yang tetap dengan jalannya untuk kembali ke jalan yang benar. Saya tak membela keduanya. Tak jua mempermasalahkan tentang tawaran akan jalan baik. Untuk tak menyakitin siapapun (yang pasti mustahil) agar jelas: saya ada diposisi non-religius, belom hijrah, dan jika bicara sisi, adalah sisi yang diserang akan meme itu. Saya sepakati itu untuk memperjelas keberpihakan.
Setelah disadari dengan cerita cukup panjang saya sebelumnya, melakukan keberpihakan, pembenaran dan pembelaan adalah sesuatu yang melelahkan dan benar tak penting. Semenjak itu memang personal, bagi saya personal sudah benar-benar di taraf personal.
Menariknya lantas saya menemukan bagaimana hijrahnya kawan-kawan akhirnya dapat memberikan semacam kekuatan untuk bisa menghakimi sepihak. Ini tentu terjadi di kedua belah pihak, saya sepakat dengan penuh jika konyol bagaimana kawan-kawan yang intens dengan punk bisa berpikiran jika pilihannya lebih baik dibanding yang tidak dan kawan-kawan yang religius berpikir jika pilihannya lebih baik dibanding yang tidak. Siapa yang menentukan siapa? Siapa yang membuat standar atas siapa? Untuk punk, pemahaman atas otoritas dan self-rules, kontra atas itu. Untuk yang religius, kamu Tuhan? kamu bermain Tuhan? akhirnya bisa main hakim dan menghakimi? Ini yang membuat risih, membuat tulisan tak penting ini muncul.
Meme ini dibuat oleh akun instagram @dhanidisorder, dengan intens dan masif Dhani membuat berbagai subversi karya dalam lingkup sidestream dan kultur populer menjadi sebuah meme, poster ajakan, poster anjuran atau juga antitesa atas hidup modern jauh dari agama sebagai bentuk promosi jika hijrah adalah sebaik-baiknya pilihan.
Ini tak salah, toh ini serangannya, mode promosinya atas ide-ide yang ia percayai, masalah ini dangkal atau tidak seharusnya yang bisa dianalisa, diserang balik jika tak dangkal, ditertawakan jika hanya memang lelucon, diserang balik pun tak masalah, dunia kepalang memusingkan, satu dua lelucon kadang memang diperlukan.

Sejauh yang saya liat, seperti yang saya bahas sebelumnya, selama memang dia menyerang identitas bisa jadi selalu dangkal, jika memang yang dia serang hanya identitas, bukan menggunakan identitas sebagai pengantar untuk berakhir, semisal, pada kritik sistem ekonomi dan masyarakat mana yang lebih baik. Seperti Ayam & Telur, realitas & spritual, beberapa hal memang harus dipisahkan, ketika hal itu spiritual dan personal, tangga kita mungkin berbeda, ketika menyangkut realitas, dapati diuji, analisa dan diperdebatkan, kita bisa saja berada di anak tangga yang sama. Dan mungkin banyak yang bisa kita capai.
Jangankan jadi standar relevansi paripurna, jika identitas selalu dijadikan masalah utama dan esa, menyelesaikan pun jauh, jadi lelucon yang malah harus. Dia bisa menjadi penghantar ke kritik selanjutnya, dia selalu pas jadi awalan, selalu lemah dijadikan standar aksioma apalagi jadi hakim ganda atau hakim sepenuhnya, mau punk ato religius, ga akan nolong lo kemana-mana, shob!

Tinggalkan komentar