Seni & Jalan

Dari banyaknya pembangunan dan perkembangan entah dari ketatakotaan sendiri ataupun tuntutan metropolitan. Ada yang kurang saya pikir dan menghilang dari Palembang: seni jalanan, mural, poster dan berbagai coretan entah bersifat hanya tagging, protes, atau juga sudah ditaraf eksebisi.

Ini terpikirkan ketika satu teman dari Medan meminta tulisan tentang seni mural dan jalanan guna mengisi satu kolom di zinenya. Kemampuan apa yang saya punya selain hanya sebagai penonton, penonton dan penikmat seni mural dan jalanan. Itu pun jika menyaksikan masih bisa dikategorikan kemampuan. Sepertinya tidak.

Satu artefak terakhir paling memorable untuk saya adalah mural Mayday Jln. AKBP Cek Agus, di dekat wisma Pertamina Golf, di gerbang besi dari sebuah gudang yang tak begitu jelas apa, mural hitam putih, ilustrasi penuh kepala segerbang dengan dua telapak tangan menutup dan sedikit tulisan tentang Mayday menyimpulkan mural itu dibuat dalam momen hari buruh, artefak mural sisa dari gelombang besar intensitas mural, grafity, tagging, stensil, dan poster hadir di setiap sudut Palembang beberapa tahun lalu.

7 Tahun lalu, ketika menggunakan bis kota dan angkot adalah rutinitas harian, menemukan banyak gambar-gambar di jalanan adalah hal menyenangkan lain, selain musik remix bis kota, kelakukan kernek bus, lelucon sopir, atau nyanyian pengamen yang beberapa darinya memang benar-benar bagus, termasuk satu kakek yang meggunakan sisir sebagai alat musik tiup.

Poster Buy Nothing Day di bawah jembatan International Plaza (IP), graffity di Sudirman dan di sela jalan tempat ganti ban Gramedia Atmo, atau juga beberapa sudut di Basuki Rahmat, termasuk juga simpang Patal. Atau juga beberapa di Plaju juga dan simpang jakabaring jauh sebelum flyover sekarang berdiri.

Saat ketika malah coretan dinding dapat berubah dengan cepat dalam kurun waktu tak lama. Entah ditutup oleh petugas kebersihan, atau ditutup bomber lain bersahutan. “Palembang Art Terror // PAT” tagging name paling sering saya liat sebagai penanggung jawab banyak coretan itu. Tak pernah tau banyak akan itu, yang saya dengar itu semacam aliansi gabungan para boomber lokal sebelum akhirnya di waktu selanjutnya memecah ke nama-nama kelompok baru atau juga personal dalam tataran komersil dan tidak. Belum lagi ditambah catatan, saat itu seni graffity belom ada di tempatnya sekarang, di tempatnya sekarang yang memunculkan sendiri berbagai istilah-istilah barunya dalam upaya redifinisi atau juga bentuk baru dari coret dinding.

Poster pun begitu, dari poster aksi, poster protes, sampai poster kegiatan komunitas lokal, sepanjang sudirman dari IP, Cinde sampai simpang Charitas, Sekip, tak ketinggalan pusat kota sebelum mall jadi jantung kota. Penolakan pusat kota sekitaran stadion Bumi Sriwijaya dijadikan mall dan rumah sakit baru adalah salahsatu pemicu poster-poster serupa muncul. Palembang seperti kota-kota lain punya masanya tentu ketika para perupa mengunakan jalanan menjadi tempat pameran dengan sangat indah.

Setahun dua tahun lalu, ada satu geliat kecil yang menempel poster di jalanan tengah kota, merespon isu asap, menawarkan propaganda setelah keputusan MA tentang kebakaran hutan di Palembang. Inisiasi mereka cukup masif dengan beberapa kali terlihat berganti poster, dengan beberapa desain, yang walau memang tak banyak tapi ada. Dari IP ke Simpang Charitas sampai ke simpang 5 DPRD. Cukup menyita perhatian saya, oase dari lama sepihnya eksebisi serupa.

Satu yang paling diingat juga dan tetap ada di beberapa titik malah, entah masih kabur siapa yang berulah, stencil tulisan sekitar 50cm x 50cm dengan sentimen agama. Untuk ukuran sentimen agama, usaha mereka cukup serius.

Sisanya tentu banyak faktor akan hilangnya budaya itu di jalanan, saya sebagai penikmat melihatnya sebagai dekadensi, entah bagaimana dari para penggiatnya sendiri saya tak tahu. Dengan kondisi Palembang yang sangat ribut, dinding-dindingnya malah cenderung sepih, terkesan mati. Peralihan terbesar lain saya pikir ketika graffity bertransformasi menjadi bentuk seni baru. Mendapat bentuk apresiasi baru dan menjadi gaya baru dalam kompetisi besar ekesitensialisme melalui luapan ekspresi. Tak lagi menemukan tantangan untuk bisa memenuhi tembok di trotoar pada malam hari atas komparasi pilihan mengerjakannya dalam ruangan ber-AC dan mendapatkan upah atasnya. Jika harus memikirkan untuk memenuhi kebutuhan cat semprot di jalanan, di tataran lebih modern, cat itu sudah terbayarkan, dan itu lebih bagus tentu. Semua menemukan pola dan bentuk perkembangannya sendiri, begitupun graffiti.

Banyak perkembangan lain menemukan bentuk terburuknya. Apa yang tak lebih buruk dari prubahan ratio poster yang semulanya A3 atau A4, semulanya 29.7cm x 42cm, setengahnya atau malah dua kali lipat (A2) sekarang menjadi 1080px x 1080px, tak lebih tak kurang, media publikasi sekarang harus cocok dengan feed instagram atau sosial media lain, tak perlu memikirkan itu akan ditempelkan di trotoar, pintu ruko kosong, simpang jalan, atau bawah tiang jembatan penyebrangan, ketika itu sudah bisa muat dalam ratio square atau high resolustion layar gadget, itu sudah benar adanya.

Ada semacam penurunan kualitas saya pikir, ada semacam peralihan yang salah melalui itu. Sosial media seharusnya muncul sebagai corong baru informasi untuk hanya menambah opsi lain distribusi informasi tersebut, beralih sepenuhnya dan meninggalkan medium lama yang saya pikir jauh lebih estetik adalah kesalahan fatal berikutnya.

Dalam tataran musik pun begitu, dari cover vinyl 12”, 5” CD dan Vinyl, 10 x 6.5 cover kaset, sampai terakhir Cuma beberapa mili kecil untuk soundcloud dalam layar smarthpone. Sama halnya publikasi tadi, semuanya salah tak salah ketika disinergiskan, tak ada juga yang bisa menahan perubahan-perubahan itu, tapi kuasa untuk meninggalkan apa yang sebenarnya jauh lebih relevan dan menarik adalah tantanngan yang dipertanyakan.

DSC_0378-edit

Semuanya mati? Dan memang sudah usang? Tak juga, semua, sekali lagi, di berbagai lini, entah musik ataupun seni tetap ada yang masih berusaha dan terus melakukan hal-hal sama, analog dan fisikal. Untuk musik semisal, yang tetap menghidupkan Lokananta dan kilang kaset malah adalah label-label dan toko-toko musik mandiri dan cenderung kecil dengan konsistensinya tetap memproduksi kaset sebagai rilisan utama. Label-label mandiri juga yang kadang terus berusaha untuk bisa merilis vinyl setahun sekali  dengan biaya produksi memusingkan, sebelum termasuk disusahkan lagi dengan Bea Cukai yang tak tau lagi bagaimanya pusingnya akan ini diungkapkan.

Di seni pun tak jauh berbeda, beberapa stencil dan coretan baru di bawah jembatan fly over Simpang Polda menjadi bukti nyata jika memang tetap ada yang percaya dan selalu percaya menjadikan jalanan sebagai ruang-ruang berkesenian. Logo CRASS, kutipan “Fasis yang baik adalah fasis yang mati,” “Dogs are Not Food” sampai terakhir stensil Munir tak lupa dengan “Menolak Lupa”-nya, angkat topi untuk siapapun yang membuat itu semua, Juga satu yang cukup berpanjang umur: dinding seberang pom bensin R. Sukamto. Entah sampai kapan akan bertahan mengingat lahan kosong dibelakangnya sudah mulai diolah setahun terakhir.

Termasuk juga yang terlihat setahun sekali di Mangkunegara, simpang Tanjung Harapan Palm Kids lama dengan warna full, dan tokoh animasi Studio Ghibli, Yubaba dari Spirited Away dengan ukuran raksasa.

Dengan kondisi Palembang yang semakin mengesalkan, potensi bahan celaan jauh lebih banyak, pengguna jalan tak pernah berkurang, dan coretan dinding kadang bisa jadi syarat menjadi kota metropolitan, kadang. Atas beberapa hal itu, saya pikir seni dan jalanan punya alasan untuk jauh lebih intens berkomunikasi, Palembang sudah sangat ribut, menyenangkan jika dinding-dinding jalanannya bisa lebih “ribut.”

Posted in

Tinggalkan komentar