Punk Justru Semakin Mendekati Titik Api: Sisi Lain Yang Dilewatkan Hikmawan Saefullah

Ada dua hal mengesalkan setidaknya ketika mulai hendak merespon isu seputaran ini: Pertama, kenapa masih saja terpantik dengan hal identitas seperti ini. Kedua, yah ini perkara identitas, yang sebenarnya memang sudah mesti ditinggalkan.

Lebih mengesalkan ketika para kelompok tertentu taat agama ini memang bermain penghakiman dan generalisir. Poinnya jelas telah salah. Kedua menyangkut hal yang memang pada saya beririsan, yang jadi makin memantik untuk merespon. Terpantik? Bisa jadi.

Tulisan ini saya buat secara personal atas respon ketika mendapati tulisan yang dipublikasikan The Conversation, berjudul “Punks are not dead in Indonesia, they’ve turned to Islam.” [ https://theconversation.com/punks-are-not-dead-in-indonesia-theyve-turned-to-islam-93136 ] Selanjutnya saya tau ini ditulis oleh mantan personil Alone At Last, band punkrock Bandung yang juga punya beberapa keterkaitan personal dengan beberapa orang yang saya tau di Bandung sekarang dan masih aktif dalam scene.

Dengan bobot judul seberat itu, upaya membuktikan jika memang bentuk kelahiran baru dari kematian punk adalah bentuk kelompok Islam tertentu merupakan pekerjaan rumah berat nan panjang, bukan hanya saja melihat satu perspektif, memasukkan berbagai data akan jadi benar-benar penguat atas ide yang dilontarkan juga akhirnya diperlukan. Waktu dimana Clickbait menjadi begitu penting, ini jadi memang prasyarat tulisan penarik massa di dunia maya sekarang, pikir saya. Istilah Clickbait bukan hanya saja hadir di youtube dengan permainan judul dan thumbnail video. Pada ranah kepenulisan, berbagai media acapkali juga mengadopsi pola ini. Bukan hanya buruk, tapi menyedihkan sekaligus.

Untuk kasus sekarang, Tirto.id dengan berani menjawab itu semua, kejengahan akan fastnews, clickbait tagline, dan semacamnya membuat media massa arus utama jadi semakin buruk, Tirto.id menawarkan bentuk jelas sebagai jawaban: jurnalisme data. Bagus jika kering karena penuh dengan statistik dan data. Clickbait-News bukan hanya lagi membosankan, tapi memang menjadi benar-benar tak penting, ada esensi dari tulisan dan artikel yang hilang.

Ketika membaca tulisan Hikmawan Saefullah di atas yang dibagikan kawan, rasa penasaran apa yang coba dia utarakan memang jadi barang pasti. Ketika dibaca, benar jika asumsi atas judul Clickbait makin menguat. Kesalahan terbesar dia tetap pada kebanyakan produk serupa dari kawan serupa: Generalisir. Dengan komparasinya pada gelombang besar punk, membabat penuh jika semua gerakan dan bentuk punk sekarang beralih ke Islam adalah benar-benar dangkal. Menihilkan banyak fakta lainnya tentang bagaimana militansi punk semakin sporadis, masif dan sistematis pada bentuk barunya. Pada bentuk yang paling fundamental malah, meninggalkan identitas punk itu sendiri.

Politik identitas seperti ini memang melelahkan, entah dalam lingkar punk sendiri, atau malah keluar dari itu semua. Identitas tak akan ke mana-mana, mendebatkannya dengan usaha total tentu hanya benar-benar membuang waktu. Apa yang akhirnya dipahami gelombang punk lain, di luar Punk Muslim seperti yang disebutkan.

Fakta yang dinegasikan atas tulisan Bung Indra atau Pak Indra atau Papap Indra malah adalah fakta terpenting, tapi entah Bung memang tidak tahu, atau mungkin sengaja tidak memasukkannya. Besar asumsi saya adalah yang kedua. Karena tak mungkin juga Bung tak mengetahui gelombang besar Punk yang bertransformasi menjadi kombatan-kombatan pada titik-titik penggusuran, vanguard kampanye atas ketimpangan sistem ekonomi, mengorganisir etika DIY pada level baru, tetap keras kepala secara otonom menolak bentuk pihak ketiga dalam ranah musik, dengan tetap berapi-api pada setiap aksi solidaritas dan penolakan. Tak mungkin Bung melewatkannya. Sayangnya Bung benar-benar tak menyentuh sedikitpun itu di tulisan Bung di atas.

Dengan komparasi serupa itu, dan menitikberatkan pada hanya salahsatunya menjadikan tulisan ini begitu lemah sekaligus dangkal. Saya pikir kecacatan pada tulisan ini tak akan besar terjadi ketika memang berfokus pada perkembangan Punk Muslim ini sendiri. Malah dia akan lebih komprehensif, tajam dan bernas ketika memang merunut pada satu rumusan masalah tersebut. Sekelas Bung Indra tak mungkin tak paham itu. Menyusun tulisan komprehensif saya pikir sudah jadi makanan sehari-hari.

Menghilangkan fakta bentuk Punk baru, Dermayu Ora Meneng di Indramayu yang bersama warga melawan ancaman Racun Batubara; atau di Salatiga dengan kajian anarkisme-nya mendalam lewat penerbit dan penulis gelombang baru; Palembang dengan variant pengaplikasian etika DIY dengan berbagai program dari Punk Against Rape, Melawan Asap, sampai yang terakhir mengokupasi Jln. Sudirman dengan panggung musik untuk menolak penggusuran pasar tradisional tengah kota; atau bebererapa kolektif punk di sela-sela gunk padatnya Jakarta, dari Pondok Jati, Guntur sampai Selatan Jakarta; atau kawan-kawan dibalik layar Festival Guyub Murup dan pendampingan di Kulon Progo dan Yogyakarta Raya sekitarnya; juga tak ketinggalan dari seberang Sulawesi sana di tengah titik konflik Bara Baraya; dan terpenting dan terutama geliat baru gelombang menyenangkan di Bandung dari record label, band, hiphop group, rumah-rumah & space otonom, relawan yang mendampingi warga menolak penggusuran untuk rumah deret Taman Sari dengan Festival Kampung Kota, melawan dengan menari, panggung musik, penampilan band dan pameran.

Tidak memperhitungkan itu semua tak pernah menyakiti kawan-kawan sebenarnya, karena kawan-kawan mulai memang tak memperdulikan itu semua. Tapi tentu membuat tulisan dan ide yang ditawarkan Bung Indra sangat lemah.

Perkara identitas ini memang mulai cukup ditinggalkan kebanyakan kawan-kawan, bukan saja memang tak kemana-mana,  secara pijakan awal memang lemah. Tak kemana-mana. Terlebih jika kita berbicara Punk, dengan berbagai wajah dan dinamika dari petama kemunculannya, kita juga akan berbicara definisi personal masing-masing atas itu. Benar-benar personal. Punk selalu menjadi Identitas belaka, jika dipahami demikian. Memahami darimana ini semua berasal dan berlawal tentu lain cerita, banyak kisah yang akan terkuak bagaimana banyak kawan juga akan berterima kasih pada Punk yang menyelamatkan hidup mereka.

Ini yang mungkin jadi acuan Bung Indra, ketika banyak irisan tak lagi menggunakan identitas Punk dan akhirnya tak tertangkap radar media massa arus utama, lantas memberikan Bung legitimasi tak langsung untuk mengklaim jika kelahiran baru Punk hari ini adalah bentuk kelompok Islam tertentu tadi. Saya tak menyalahkan Punk Muslim dan Islam sekali lagi. Saya menyalah penuh perspektif Bung dalam mengangkat itu.

Kesalahan berawal dari mengkomparasikan dua hal besar, menegasikan yang lainnya dan condong berpihak sebelah, berujung pada generalisir penuh, yang bukan saja lemah tapi lucu sekaligus. Untuk ujaran seserius itu, pijakannya sangat lemah, tapi apa mungkin arahnya memang lelucon? Kalau begitu kelucuan serupa memang benar-benar dibutuhkan sekarang di tengah lelucon garing berterbangan.

——

*Photo oleh Aditya Muhammad saat aksi Stand With Cinde mengokupasi Jln. Sudirman atas kampanye melawan penggusuran pasar tradisional tengah kota di Palembang.

Posted in

Tinggalkan komentar