Ketakutan Berwujud Tagihan Bulanan

Disaat sama persis ketika menerima pesan teks ajakan untuk mengisi kolom zine yang bertema horror ini, saya langsung bertanya pada pasangan, yang kebetulan sedang persis ada di sebelah. Saya tanya dia, apa sesuatu yang horror di luar kengerian, klenik dan cerita ilmu hitam. Tak lama dia berpikir dan menjawab, horror itu tagihan. Tagihan bulanan, listrik, air, makan dan hidup, tambahnya.

Tak bisa membantah. Diam mengiyakan.

Secara personal, tak pernah mudah percaya dengan sesuatu yang metafisis, bukan meremehkannya, malah ada yang pernah bilang kalau itu hanya bentuk pertahanan diri saya akan sesuatu yang tak kasat mata itu. Bisa jadi. Tak juga salah. Tapi karena memang dari apa yang didapati selama ini, silogisme yang dipercaya, memang sangat memberatkan dan membuat susah untuk bisa percaya hal-hal di luar pandangan objektif. Karena hal tersebut juga acapkali (banyak yang bilang) hanya bisa dilihat oleh mata batin.

Sewaktu SMA, pernah diharuskan menjaga rumah Adik Ayah. Rumah besar, berlantai dua, punya 3 kamar besar sendirian. Rumah itu kosong lama, satu semester ditugaskan untuk tidur dan tinggal di sana, karena kebetulan mereka belum bisa pindah dan kebetulan lagi saya memang menumpang hidup sebentar dengan mereka waktu itu. Pernah satu malam, acak terpikir jika lumayan horor untuk tinggal di rumah sebesar itu sendirian. Satu hal menggelikan yang didapati waktu itu, ternyata lebih takut jika rumah didatangi maling ketimbang (misal) pocong. Membayangkan hadap-hadapan dengan maling, bisa jadi dengan senjata, membuat lumayan disiplin memastikan masing-masing pintu benar-benar terkunci rapat tiap malam saat itu.

Diingat-ingat, juga tak banyak mengalami pengalaman metafisis dan spiritual. Ada setidaknya (jika tak salah ingat), hanya ada beberapa tempat yang entah bagaimana sesuatu tentang semacam itu terasa signifikan. Salahduanya adalah Restoran Rumah Raminten di Yogya dan yang kedua lainnya, Pulau Bali hampir secara keseluruhan. Entah kenapa kedua tempat itu secara spesifik punya suasana yang berbeda.

Sudah hampir 5 kali berturut-turut, Spektakel Klab, sebuah kolektif musik yang saya terlibat jadi bagiannya, mengadakan malam halloween tahunan. Jika tak keliru, sempat istirahat satu kali, dan tahun lalu (juga tahun ini) istirahat karena pandemi. Jangankan untuk membuat sebuah gigs berkostum, membuat gigs regular saja kami takut-takutan. Dunia sudah kepalang horror belakangan.

Nah itu. Dunia, realita dan apa yang ada dihadapan mata sudah terlalu horror. Itu  yang akhirnya kami simpulkan dan sepakati, kami, saya dan pasangan saya, yang seperti dibilang sebelumnya. Agak sedikit memanjangkan rantai kata setelah memaknai horror sebagai tagihan. Horror itu kemudian menjelma dalam bentuk paling nyata dan terasa, yang mana berikutnya kata menurun pada “negara.” Jadi ingat, salahsatu poster Gigs Kostum Spektakel 2 tahun lalu. Teksnya kurang lebih : “Kalian Horror? Negara lebih menakutkan!” – semacam itu. Bisa sangat salah. Bisa saja hanya sinis belaka.

Sepintas memang terbaca dan terdengar penuh sinisme personal. Sinisme terhadap sesuatu yang lebih besar, seringkali muncul jika sesuatu sudah mulai terlalu abstrak. Tipikal, harus ada yang disalahkan. Sayangnya memang mereka sudah salah saja dari mana-mana.

Tapi jika memang diliat agak lebih jauh dan diturunkan ke ranting-ranting pemikiran, dijabarkan. Sinonim horror model itu tak pernah begitu mengejutkan lagi. Apa yang kita  hadapi dalam upaya bertahan hidup, pemenuhan kebutuhan dan membicarakan sesuatu, semakin kesini, tampak terus makin menakutkan. Sekali lagi ini bukan sentimen kosong siang bolong atau sinisme acak tak jelas seperti tadi dibilang.

Tak perlu juga sentimen sistematis atau juga penelusuran yang terlalu jauh dan akademis, apa yang sedang kita bicarakan bisa muncul dan terpikir dengan mudah lewat guyonan, celetukan, sindiran sederhana atau desahan resah setelah menghela nafas panjang di tengah lelahnya menjalani hari, di tengah hari. Hidup memang bisa sepesimis (sekaligus semelelahkan) itu. Dan dari itu semua lah, hal-hal metafisika mewujud menjadi begitu nyata, bahkan ilmiah.

. . .

Keterkaitan yang makin mengesalkan belakangan, ini terjadi di banyak ranah: mulai dari perbincangan ringan di tongkrongan-kopisusu-gula-aren, curhatan tengah malam, atau juga percakapan respon berita; Yaitu tetap saja banyak yang menganggap berbagi keresahan sosial ekonomi politik adalah sesuatu yang begitu serius, besar dan tinggi. Ditambah glorifikasi melenceng nan menjengkelkan istilah SJW (Social Justice Warrior), dan selalu menempatkan jika politik hanya milik partai dan parlemen. Tentu tak ada yang baru dengan ini. Tapi seharusnya, idealnya sekali lagi, mestinya kita memang sudah melampaui itu semua. Semenjak keresahan-keresahan menakutkan sudah masuk ke ranah paling privat, dan menghantui lingkup paling kecil yang kita punya.

Apalagi jika diingat dalam sekali tarik, benar-benar faktual, Oktober 2021 ini penuh dengan berbagai berita tak mengenakkan. Ekploitasi dan penggunaan UU ITE makin ancur-warut, Brutalitas aparat di berbagai kota, lini, medium dan wilayah. Bahkan lapisan. Hampir berpikir berapa kali untuk menghapus aplikasi Twitter dari handphone karena ini. Lumayan melelahkan untuk mendapat kabar-kabar baru tak mengenakan setiap harinya, secara simultan. Jika bukan karena meme dan One Piece, aplikasi burung biru ini tak dua kali akan saya hilangkan.

Satu paragraf barusan mungkin juga tak kalah terdengar sinis dan sentimen. Tapi jika kamu mengangguk dengan salahsatunya, atau malah juga mendapati berita yang sama di garis-waktu-mu. Sepertinya memang itulah adanya, kembali lagi, malah lewat tarikan nafas, celetukan dan desahan, kita makin menormalkannya. Yah namanya juga namanya, kan?

Berselaras penormalan itu, pembicaraan sesuatu yang selalu di labeli “terlalu serius,” “berat” atau juga “bukan ranah” sepertinya memang harus ditimbang ulang (sekali lagi, entah untuk berapa kalinya). Energi kita untuk menormalkan banyak hal yang sebenernya tak masuk akal — akhirnya tak juga salah sepertinya juga, jika berimbang dengan bagaimana kita juga dapat menormalkan berbagai perbincangn atas berbagai ketakutan, rajin berbagi keresahan, yang dikemudian waktu menjadi berbagi trik menghadapi itu secara personal; atau bisa jadi malah merumuskan atas bagaimana cara menghadapi ketakutan itu. Bersama.

Semenjak hal menakutkan tadi itu akhirnya bisa kita temukan sekarang di dalam gang, depan rumah, pintu kostan, dalam kampus, di ruang publik sampai melalui gawai genggaman; dari seni, musik, akademik; Dari twitter sampai instagram. Semenjak ini makin mewujud menjadi ancaman yang kepalang horror dari banyak produk sinema horror manapun, karena nyata adanya.

Serupa berbagi ketakutuan akan tagihan bulanan bersama pasangan. Memang jadi tawaran yang relevan jika seharusnya pembicaraan hal-hal menakutkan harus terus selalu kita normal resahkan, biasa untuk dibicarakan. Bicarakan seringan mungkin, Seperti ketakutan kosong teman kita bulan lalu yang bisa kita tertawai & hadapi dengan berani keeesokan hari. Layaknya cerita sosok tak jelas yang kawan kita lihat di jalan pulangnya tempo hari. Atau setiap potongan kisah horror saat beberapa teman turun mendaki. Ketakutan-ketakutan itu memang mestinya selalu akan bermuara pada keberanian. Keberanian untuk menghadapinya. Biasanya, tinggal caranya dibicarakan & dicari bersama.

Sebagaimana ketakutan dapat dibagi dan menular, keberanian punya cara yang sama. Bagikan saja. Tularkan.

. . .

Tulisan ini saya buat atas permintaan kontribusi di sebuah  zine bertemakan horror dari Americat. Sebuah produk dagang yang dikerjakan kawan-kawan dekat di Palembang. Versi awalnya, dalam bentuk digital, masih disediakan mereka di kanal mereka. Dirilis saat Halloween 2021.

Posted in

Tinggalkan komentar