Sesekali Pulang

“…kita terlau jauh berjalan untuk sebuah perjalanan yang menjauhi diri kita. pulang adalah jalan untuk memulai perjalan demi diri kita”

Menyebalkan sekaligus takjub, kalimat atau tulisan yang sebenarnya hadir entah dengan relevansi apa di hampir 1 dekade lalu, tetap saja relevan dan malah kembali mengingatkan, sekaligus menyadarkan. Merespon dengan baik kondisi paling faktual depan mata. Tak mengejutkan sebenernya kalau dipikir, jangankan yang muncul 1 dekade lalu, yang muncul 100 tahun lalu saja tetap bisa jadi relevan. Mungkin tidak secara kondisi, tapi dari perspektif dan basis pemikiran. Valid.

Walau menemukan fakta lebih pahit kadang, apa yang tertulis di waktu lalu, bisa tetap punya banyak kesamaan dengan apa yang terjadi sekarang. Antara memang tulisan ini (begitpun penulisnya) yang begitu visioner, atau memang sebenernya secara esensi, hidup tak pernah banyak berubah.

Begitu juga dengan tulisan pembuka tadi, tulisan yang muncul ketika aku secara harfiah mengunjungi catatan di belakang. Kalimat itu secara penuh tersadur di terbitan SERUM oleh KONTINUM.

Terbitan yang di kemudian hari aku sadari jadi fragmen paling berpengaruh dalam kerja-kerja kepenulisan aku, yang sebenarnya juga begitu-begitu saja. Aku tak malu sedikitpun jika mesti mengaku fanboy mereka memperihal tulisan. Untuk (jika) bisa menyamai mereka saja itu sudah karunia. Dengan proses seperti sekarang, entah sepertinya masih jauh dari kata mengejar.

Jika diingat, belakangan Aku tetap bisa membuat beberapa produk tulisan, dari tulisan pendek, tulisan pelengkap sebuah publikasi, pengantar; malah untuk ranah pekerjaan professional, copywriting tetap jadi salahsatu jobdesc-ku Tetap saja, bagaimapun jika dilihat lagi, tulisannya tetap saja begitu begitu saja. Mungkin karena memang tak pernah ada latarbelakang akademis ato professional itu sendiri.

Jika akhirnya sekali lagi menempatkan tulisan sebagai medium komunikasi dan suara. Karakter dan teknik yang digunakan Tim Jurnal Kontinum adalah sebenar-benarnya dari sebuah suara (dalam hal ini tulisan) paling masuk akal dan rasional. Pandangan yang tak terlalu muluk, tapi tetap keras, upaya mengkonfrontasi realitas dengan mengaku kalah. Mengerti jika semuanya memang tak pernah sederhana, tapi tetap saja keras kepala. Tulisan-tulisan yang punya nyawa akademis tapi juga personal secara bersamaan. Tim Kontinum membuat karakter struktur kepenulisan yang spesifik, mereka bisa jadi gambaran paling gamblang dari jagoan-jagoan kepenulisan ruang kelas kampus, yang terlalu lelah dengan sistematika dan kekakuan, memutuskan untuk keluar, nongkrong lebih banyak, mempertanyakan struktur tulis yang ada, dan menulis lebih gila.

Selain ketajaman tulisan, estetika juga senantiasa berbanding lurus hadir di setiap terbitan yang mereka hadirkan. Ditambah lagi dengan tataletak visual yang tak pernah mengecawakan dari halaman ke halaman. Tajam menulis, galak secara pemilihan photo, gahar secara tata letak. Tak ada alasan untuk tidak menjadikan Tim Kontinum menjadi grup kepenulisan paling berpengaruh yang pernah ada. Sampai sekarang.

Banyak hal yang mau aku utarakan belakangan, biasanya yah tak lain dengan tulisan. Entah kenapa belakangan aku merasa tak mampu lagi menulis. Entah kenapa, ketika benar-benar mau memulai sebuah tulisan, semuanya terasa lebih berat. Semuanya terasa lebih rumit. Padahal, tulisan hanya bagian dari medium komunikasi, dalam bentuk paling sederhananya (sekali lagi, seharusnya) hanya menuangkan apa yang ingin diucapkan secara verbal, menjadi tekstual. Seharusnya.

Aku tak yakin dan juga tak mau terlalu percaya diri untuk bilang jika sebelumnya tulisanku jauh lebih bagus. Hanya bisa memastikan, jika hanya lebih sering menulis saja. Itu saja. Semenjak memang sadar diri tak punya latarbelakang teknik  kepenulisan apapun, untuk ada di fase sering pun itu sudah jauh dari kata cukup bagiku

Kembali pada bagian stagnansi ketika mulai menuliskan ke beberapa kata, kalau memang benar ingin dilihat dan jujur, ada semacam barometer estetika dan pagar-pagar yang sudah terbayangkan, tonggak tonggak yang mesti dipenuhi atas sebuah tulisan, target dan indikator yang sudah terbangun dan dibentuk sendiri atas proses yang sudah dijalani.  Di satu sisi ada benarnya, di sisi lain, apalah arti sebuah estetika dan syarat jika memang akhirnya dia menghambat. Menghambat sebuah proses komunikasi yang harusnya bisa jadi sederhana. Menuangkan pikiran.

Alasan itulah yang akhirnya terpikir untuk kembali menziarahi artefak-artefak terdahulu, produk-produk fabrikasi yang dapat membuat aku bisa sangat tertarik untuk menulis. Terbitan terbitan Tim Kontinum lah tentu jadi yang terpikirkan pertama.

Sepanjang ziara-ziarah ini jugalah semacam kembali tersadar, bukan kemampuan menulisku yang menurun, atau juga malah standar estetika kepenulisanku yang terlalu muluk. Semuanya hanya pembenaran dan alasan yang lemah. Ketika disadari ulang, kesusahanku menulis sekarang bisa jadi cuma berasal dari satu malah : Kekurangan membaca. Lantas apa yang mau dituliskan? Membaca saja kurang. Parahnya, sampai lupa, buku apa yang terakhir secara penuh aku baca.

Begitupun dengan pagar estetika tadi, hal-hal yang sebenarnya aku tak pernah sepakat. Banyak hal harusnya bisa dilakukan sederhana mungkin. Kenapa kita tidak bisa seberani melakukan sesuatu selayaknya ketika pertama kali kita melakukannya? Kenapa kita hanya bisa memperumit keadaan dengan standar-standar, batas-batas, atau pagar-pagar yang malah menghambat. Sebagian orang lain melihatnya sebagai peningkatan kualitas, sebagian orang lain juga menganggapanya sesuatu yang alamiah, buah dari proses. Sebagian lain, juga bisa melihatnya sebagai proses problematik, perfeksionis semu, dan dewasa yang salah arah. Semua bisa salah, semua bisa benar.

Tapi proses kembali pulang, seperti saya menemukan kesenangan kembali membaca Kontinum barusan, memang tak pernah salah dibiasakan. Dengan sedikit kembali ke belakang, ternyata lumayan membantu untuk menemukan kembali alasan untuk maju kedepan. Karena memang kadang, kita memang hanya terlau jauh berjalan untuk sebuah perjalanan yang menjauhi diri kita. Sebab itulah, tak salah sesekali coba pulang.

Posted in

Tinggalkan komentar