Merayakan Kekalahan

Bertepatan dengan Hari Buruh 2 tahun lalu, jika memang sangat rumit untuk bisa disebut sebagai perayaan, seringkali sebagian lebih memilih menyebutnya peringatan. Hari itu memilih memperingati dengan cara sedikit berbeda. Sedikit berbeda dari kebiasaan, tapi tak dengan sesuatu yang benar-benar baru juga. Hari itu, 1 Mei 2019, Punk In The Park tahun pertama dihelat.

Jika kembali diingat, setahun sebelumnya, 2018, sebenarnya kawan-kawan juga mengadakan gigs di tanggal yang kurang lebih sama, gigs dua hari, ada band dari luar kota yang datang juga malah. Namun Punk In The Park terasa berbeda, yang mana tentu sudah terggambar jelas melalui nama. Singkat cerita, semuanya berjalan lancar dan menyenangkan. Awal, disebutkan jika itu adalah yang pertama, walau saat itu, tak juga bisa dibilang bahwa sepakat akan ada yang kedua. Secara sadar dan tidak sadar, atau memang sudah terbiasa saja, kawan-kawan tak fasih merencakan terlalu jauh kedepan, biarkanlah semuanya menjadi tetap berjalan spontan, organik dan alamiah saja. Termasuk Punk In The Park, melihat yang terjadi, berjanji untuk membuatnya lagi tahun depan hanya jadi sebuah respon normal.

. . .

Setahun berjalan, Mei 2020, semua yang terjadi sudah menjadi sejarah adanya. Semua tak berjalan lancar, seluruh dunia dipaksakan vakum, istirahat dan di rumah saja. Semua mendadak gelap. Banyak yang masih gamang, gagap dan terkejut. Beberapa lain sudah pasrah, jika sudah tak terelak datangnya masa gelap. Sial kuadrat terjadi di lingkar terdekat, kesialan yang spesifik menimpah kami bersama. Mesti dipukul mundur dengan cara yang mengesalkan. Tak juga bisa diesalkan, tak juga ada yang bisa disalahkan. Di kemudian hari, kami memahaminya sebagai konsekuensi.

Tiada banyak yang bisa diceritakan bagian ini. Yang jelas, lumayan runtuh sekaligus habis energi dalam singkat waktu.

Aku secara pribadi melihatnya sebagai istirahat, sepertinya sama persis dengan berjuta orang lainnya di dunia bersamaan. Butuh sedikit proses untuk mencerna yang terjadi. Apa yang mesti dilakukan, bagaimana kedepannya, atau apa emang iyah tinggal berfokus saja dengan keterdesakan. Diminta (hanya kali ini sedikit terpaksa) untuk tak coba berani-berani melihat jauh kedepan. Seperti cerita yang sudah-sudah, semua orang dihadapkan dengan api besar yang sama, tapi tetap saja setiap orang terbakar dengan cara berbeda.

Sudah bukan mengagetkan, kadang dianalogikan : selain guna menghalau api besar itu, kita harus benar-benar selamat dari api kita sendiri-sendiri. Terdengar sederhana dan rumit bersamaan. Terdengar mungkin dan tidak mungkin secara bersamaan. Untuk dapat menyelesaikan apa yang ada di luar diri kita, beberap menyarankan untuk menyelesaikan semua dulu yang di dalamnya.

Namun hidup kadang tak serunut itu juga, bagaimana jika memang bisa saja bantuan datang bersamaan dari membantu orang lain. Sejak April 2020 waktu itu misalnya, selain dipaksa untuk memendap di rumah, beberapa kawan juga mulai disibukkan dengan kerja-kerja solidaritas cepat tanggap, menyusun pertahanan diri komunitas. Memulai langkah-langkah kecil untuk bisa berproses bersama dalam menghadapi krisis. Latihan pertahanan krisis. Seperti biasa.

Bagiku personal, ini lumayan membantu mendistraksi. Aku pikir juga dengan beberapa kawan lain. Di luar keterhimpitan diri, di satu waktu yang sama juga kembali diingatkan jika berbagi menjadi sesuatu yang fundamental. Sekali lalu menjadi obat.

Untuk satu masa lagi, dalam rentang waktu yang singkat dan mendadak, kembali diingatkan jika memang kita bisa berbagi banyak hal, dan banyak hal memang akan terbagi dengan sendirinya. Ilmiah. Ketakutan, keresahan, patah hati, kesialan, bersama termasuk didalamnya yang tak kalah penting serupa semangat, api dan keberanian. Sebelumnya, jauh sebelum pandemi, Kesemuanya terdengar agak sedikit murah, karena diulang-ulang dalam banyak medium, dari artikel, lagu, eksplanatori, tulisan pengantar diskusi, selebaran aksi, pamflet kegiatan, atau berbagai seruan dari yang benar-benar serius atau bahasan tongkrongan. Hanya ada yang sedikit berbeda saja kali ini. Berbeda karena kesemuanya memang jauh-jauh lebih nyata. Benar-benar nyata beratus kali.

Diantara kejadian-kejadian yang bertabrakan inilah juga akhirnya banyak dari kawan kembali dipaksa berevaluasi, mempertanyakan kembali tentang apa yang dijalani, mempertimbangkan ulang apa yang sedang dilakukan. Membagi prioritas, menentukan ulang pengutamaan. Kali ini dengan kondisi yang lebih pas mungkin, karena istirahat panjang dan keterpisahan. Dengan keluangan waktu dan kondisi yang ada, memang lumrah jika bermuara pada proses kontemplasi yang jauh lebih matang dan krusial: apa mau lanjut berjalan, atau lanjut berbeda jalan. Bagian yang akhirnya lumayan menyusahkan.

Sempat ada yang bertanya, bagaimana cara yang paling tepat berhadapan dengan perasaan kesendirian dan ditinggalkan (?) Dengan secepat kilat bak sesi cerdas cermat, tentu aku langsung semangat menunjuk semua malapetaka itu terletak pada “perasaan” (baik itu secara kata, mau harfiah atau tidak)– semua harus benar-benar tervalidasi dan terkonfirmasi lagi dulu, tambahku. Semua memang terjadi, atau memang hanya perasaan. Jika memang pernyataan kedua benar, semuanya mestinya jelas sudah. Mendengar jawaban dan penjelasan yang (sebenarnya) begitu-begitu saja, penanya ini agak sedikit tenang. Sialnya, gusarnya malah berpindah.

Selepas dia bertanya dan tenang, aku mulai memikirkan ulang kondisi yang aku hadapi waktu itu, waktu-waktu selepas beberapa kawan mulai menentukan jalannya masing-masing. Sial, ternyata tak jauh berbeda. Aku merasakan hal yang sama.

Berbeda dengan cara yang aku sarankan ke orang lain, ternyata waktu itu aku tak punya sempat waktu untuk memvalidasi dan mengkonfirmasi apa yang aku hadapi. Sekedar perasaan atau kenyataan. Beruntung atau buntung, distraksi yang juga sudah aku jelaskan tadi di depan malah memang yang menjadi jawaban. Tentu tak paripurna. Namun ada baiknya, subjektifku. Objektifnya? Entah juga, baik tidaknya juga sebenarnya tak juga tau.

Yang aku tau di kemudian hari, aku hanya kembali mesti berterima kasih pada setiap kawan yang bertahan hari itu, beberapa yang akhirnya meneruskan apa yang ada, beberapa yang datang tiba-tiba, atau beberapa kawan baru yang datang di waktu yang sama. Saat ketika hidup berjalan tak biasa, di tengah kemerawutan yang tak pernah juga baik-baik saja. Walau memang jauh dari sebelumnya. Setidaknya, kembali lagilah, banyak hal yang bisa diusahakan, banyak kesibukkan yang bisa dilakukan, upaya-upaya penemuan kembali jawaban, serta memperbesar kemungkinan. Sedikit cahaya selalu memang punya caranya meringsuk masuk, sekalipun dalam perjalanan di lorong gelap gulita panjang.

Upaya-upaya bersama, berbagi peran, membangun sesuatu, menghancurkannya. Upaya-upaya yang mesti berterus, memang akan menemukan sendiri jalannya untuk berlanjut. Dan apa yang terjadi setelahnya sudah kemudian banyak diketahui bersama.

. . .

2 Tahun berlalu, sekarang, bagian itu sudah jauh lewat, namun tak juga mudah dilupakan. Bagian ketika akhirnya benar-benar harus menerima perpisahan jalan. Bagian ketika mesti sadar semua ada waktunya. Bagian ketika mesti benar-benar mengerti pilihan kawan. Bagian mempertanyakan, yang mana sebenarnya relevan? Perubahan yang memang begitu adanya, apa memang aku yang tak ke mana-mana (?)

Dan akhirnya hidup kembali berjalan. Yang runtuh sudah bisa dibangun ulang, beberapa kerja juga sudah kembali disambungkan. Tapi tak semudah berucap, membangun ulang tak pernah bisa jadi kerja yang sederhana atau juga mudah. Walau memang, kita sama-sama yakin, kita bertumbuh, kita bukan lagi orang yang sama dengan sebelumnya. Kita tak akan masalah menghadapi masalah yang kurang lebih sama, karena kita juga sudah menemukan jawaban guna bisa berakhir beda. Isi lagi gelas lantas kosongkan.

Seperti tentang upaya yang pernah kita sepakati bersama (yang mana sebagian kawan tinggalkan), tentang upaya-upaya membuat semuanya menggelegar. Akhirnya memang tinggal perlu selalu lebih dirincikan: siapa yang memegang tambur; siapa yang menabuh dan siapa yang bergantian mengguguh; siapa yang memastikannnya berputar dan siapa yang bertugas mengenggam halilintar; Berbagi tugas atas masing-masing kapasitas.

Layaknya Punk In The Park yang harusnya terhelat di tahun ketiganya, tapi juga tak sesuai rencana. Tahun ini, malah kawan-kawan malah mengeksekusi Festival pertamanya. Apa yang sudah direncanakan lama. Ketakterdugaan bukan hanya datang dari kesialan. Kita tak akan pernah mengira, kita akan terkejut dengan apa. Jika tidak dengan satu hal, selalu ada yang kejutan menarik di lain hal. Dalam perjalanan di lorong gelap panjang, pilihan terbaik hanya tinggal terus saja berjalan.

Layaknya seperti pegas sepiral. Hidup akan sealu bergulir dari satu pengulangan ke pengulangan yang lainnya. Yang membuat berbeda hanyalah proses itu sendiri. Proses yang kadang tak bisa diceritakan atau sukar dijelaskan. Atau juga runyam ditularkan. Setidaknnya satu yang niscaya, apapun, aku pikir pasti dapat dibagikan serta terbagikan.

Termasuk kerja dan peran. Susahnya memang jika akhirnya kita menyadari kekurangan orang terdekat untuk dibagikan peran. Walau pada akhir hari, jika itu memang terjadi, dan pasti terjadi, juga tak ada yang bisa disalahkan sama sekali.

. . .

Di Malam Hari Raya, Hari Buruh Sedunia,
Di Rumah Orang Tua, 1 Mei 2022.

Posted in

Tinggalkan komentar