Hardcore & Kesehatan Mental

“I missed the last bus, I’ll take the next train. I’ll try but you see, it’s hard to explain. I say the right thing, but act the wrong way” – The Strokes
. . .

Terpikir ulang satu dua hal saat mendengarkan pertama kali Touché Amoré membawakan Hard to Explain dari The Strokes. Tahun lalu. Mereka membawakannya begitu baik, bagiku personal, benar-benar begitu sampai; entah secara emosi, agresi, kemarahan dan sekaligus keputusaasaan yang menolak menyerah. Putus asa tapi menolak menyerah. Saat Hardcore bisa jadi begitu emosional dan menyentuh, ketimbang sisi lainnya yang jauh lebih condong agresi dan marah.

Dibagian membawakan lagu ulang dengan sangat baik, dalam benang merah yang sama, jadi ingat momen yang mirip ketika mendengarkan ALICE bisa membawakan juga dengan apik “In The Name Of Forgiveness, I’ll Be Leaving This Secret With You” dari Pitfall. Tak begitu mendengar Pitfall sebelumnya. Entah bagaimana, versi ALICE (juga) disampaikan dengan cara baru, sekaligus begitu baik. Seperti itulah kurang lebih perasaan yang berulang muncul ketika mendengarkan Hard to Explain versi  TA (Touché Amoré). Selama 48 jam berikutnya, track itu Aku putar berulang.

Sedangkan untuk bagian bagaimana hardcore yang emosional sekaligus menyentuh. Potongan-potongan perasaan dan ingatan yang muncul lebih ke ketika pertama-pertama kali mendengarkan Have Heart. Ada sedikit perasaan aneh diawal, bagaimana bisa musik seagresif itu, malah lebih condong membuat berpikir dan kontemplasi, ketimbang tiba-tiba lari untuk naik ke bibir panggung dan langsung stage-dive. Walau pasti, jika memang dihadapkan langsung di gigs dengan musik sejenis, Aku lebih tentu melakukan hal yang kedua.

Tidak sekali dua kali, selalu berujar jika memang nanti ada kesempatan, pasti ingin bisa membuat band dan musik seperti Touché Amoré dan Have Heart, membuat setiap gigsnya berkomposisikan pencampuran dari yang loncat-loncatan di bibir panggung dan menangis termenung di bagian lebih jauh dari moshpit. Kedua hal yang ternyata memang bisa saja terjadi dan aku lakukan secara tidak sadar saat berkesempatan menonton Pianos Become The Teeth secara langsung, saat mereka ke Jakarta beberapa tahun lalu.

Setelah lebih dari 48 Jam mendengarkan dengan khusuk Hard to Explain versi TA, setelah hal-hal emosional dan euphoria meledak-ledak, setelahnya, muncul perasaan sediikit legah, jika sekali lagi terselamatkan dengan cara yang paling dekat, yaitu oleh musik, untuk konteks spesifiknya Hardcore.

2 tahun terakhir ini, kisaran, bandku membawakan track dari Outburst sebagai pilihan track cover. Tradisi yang kami pakai 5 tahun terakhir, menyelipkan maksimal 2 track cover, dari band yang memang kami ingin hormati, sukai atau senangi. Kawan-kawan yang sering datang ke show kami, lumayan sedikit hafal dengan eksplanatori yang aku pilih sampaikan untuk mengawalinya. Malah sudah jadi ceng-cengan di tongkrongan, terakhiran. Aku bilang jika : sebagaimanapun Punk menyelamatkan, hardcore akan selalu jadi obat.

Tak begitu ingat detailnya, kenapa kalimat ini yang dipilih. Tapi secara personal, ini benar adanya, tak pernah diada-adakan. Ketika semuanya jadi membosankan dan melelahkan, ketika kerja-kerja apapun yang dilakukan tak lagi menemukan sisi menyenangkan, hardcore (yang cukup lumayan spesifik bagiku personal) menghadirkan ha-hal lainnya yang hampir selalu bisa dinikmati, dibicarakan dan dirayakan.

Sudah bukan perkara baru, kita harus memang bisa menemukan cara-cara kita sendiri untuk tetap sehat di dunia yang sakit, dan untuk selalu waras di dunia yang gila. Sedikit hal kemarin, kadang tak lagi relevan hari ini; sedikit cara-cara sebelumnya selalu bisa menemukan waktu untuk dipertanyakan ulang. Selalu ada masa, ketika semua yang memang bukan apa-apa menjadi tambah sia-sia. Satu waktu saat fakta pahit itu kembali terkuak. Ketika kenyataan terburuk, yang sebenarnya kita tau dari awal hanya kembali muncul lewat relevansi waktu dan kondisi yang berbeda. Saat itulah musik, entah bagaimana, punya caranya menyelamatkan.

Pernyataan demi pernyataan akan glorifikasi peran musik ini mulai terasa sedikit menjengkelkan. Tapi perspektif berbasiskan pengalaman personal ini juga toh tak bisa seerta-merta dimentahkan. 1 Tahun terakhir, bagian ini benar-benar berarti bagiku. Musik-musik yang sudah muncul untuk diputar ulang, dan musik-musik bagus yang sepertinya layak ditunggu kemunculannya, aku sedikit dijadikan alasan untuk hidup lebih lama.

Dan itu ternyata lebih dari hanya sekedar sedikit.

Teman-teman dekatku pasti cukup hafal, perbendaharaan musikku jauh dari kata banyak. Berdinamika dengan cukup mendengarkan musik yang itu-itu saja. Karena untuk benar-benar suka, bagiku, banyak aspek yang harus terpenuhi, dan alasan-alasan itu yang malah (lebih sering) jauh dari permasalahan teknis. Sok pretensiusnya, bisa dibilang benar-benar memilah musik mana yang bisa dipastikan untuk jadi favorit. Sisi lainnya, yah katakanlah memang tak luas saja wawasan musiknya. Tak banyak eksplorasi.

Jika memang diingat ulang, sedikit musik yang aku tau itu memang jadi juru selamat, mengenalkan banyak hal, membawa banyak hal, membantu secara langsung dan tidak langsung, mengajarkan cara bertahan dan menjalanin hidup. Baik secara ideologis atau pragmatis. Baik lewat pengertian tidak langsung atau secara terang-terangan.

Senang & sumringah ternyata bertahun kemudiannya masih saja dikagetkan jika musik yang itu-itu saja, dengan medium berbeda bisa kembali menyelamatkan sisi kecil lain dari diriku. Di tengah sindrom depresi, kelelahan mental, kehabisan energi temporer, mengetahui tetep bisa menangis mendengarkan musik yang bagus tentu jadi sesuatu yang sedikit menenangkan. Di waktu bersamaan, mendapat kabar jika banyak kawan yang kerepotan menghadapi fase-fase kesendiriannya, fase-fase marasa ditinggalkan, fase-fase tak ada tempat berbagi kelu-kesah, cerita dan rasa. Fase yang tadi dibilang sebelumnya, memang sudah disadari, ada dan jadi satu titik utama semuanya bermula. Hanya saja, kali ini hadir dengan cara dan eskalasi yang berbeda. Ada yang kewalahan dan tak bisa dengan baik melaluinya, tak sedikit juga yang tak begitu berkendala dan terhitung lincah mengarunginya. Yang mana satu atau keduanya, tentu tak ada yang lebih baik dan ataupun lebih buruk.

. . .

Bukan juga fakta baru, jika memang isu kesehatan mental, dalam budaya populer mendapat perhatian besar sekarang, dan kemudian karena mungkin terlalu besar, sebagian orang menjadikannya komedi. Singkat cerita, yang jelas, bagaimanapun, akhihrnya ini diperbincangkan. Itu dulu saja. Dan itu indikasi baik.

Entah juga dalam lingkup Hardcore sendiri. Sepertinya tak akan jauh juga berbeda, semenjak pengklasifikasikan budaya ini juga sudah semakin bias. Apa yang terjadi satu kelompok, spesifik atau tidak dengan cara berbeda juga sedang dihadapin oleh kelompok lain. Tapi, dengan adanya kultur “keras” secara langsung dan tidak langsung, positifisme total, dan keoptimisan diri yang dihidangkan lewat musik sespesifik ini;  tak pelak memang bukan sesuatu yang aneh jika keterbukaan akan problem diri jadi tak juga bisa sederhana. Walau banyak dari kita memang (harusnya) sudah sama-sama dewasa menyadari dan secara bersama cukup mapan atas keterbukaan pikiran dari akulturasi kultur yang ada, yang mana bukan jadi jaminan sebagian kecil lain bisa tak lagi terjebak pada slogan-slogan dan paradigma konvensional adanya.

Seprogresif apapun klaim atas kultur ini, hal-hal menyebalkan seperti penyepelahan, ceng-cengan, atau superioritas mental semu juga tetap saja terjadi. Munafik jika fakta ini ditampik. Lantas tak kaget jika banyak yang masih malu, tabu atau takut untuk menunjukkan sisi paling rapuh dalam (katanya) lingkugan musik paling gahar. Setidaknya itu yang banyak orang liat.

Walau, dalam histori budayanya sendiri, perbincangan ini juga tak benar-benar baru. Dalam pandangan skeptis paripurna : Musibah ini bermuara pada logika binari dan alergi hal-hal yang kontradiktif. Tak bisa paham jika memang bisa saja terjadi secara bersamaan kondisi dimana senang dan sedih muncul sekaligus, marah dan pesimis hadir bersamaan, bersiap kalah dan keras kepala jadi satu keselarasan.

Sisi ini (tidak berpikir binari red.) yang sepertinya memang perlu dibicarakan ulang, dalam konteks musik, bagaimana musik (apapun itu) harusnya bisa memberi banyak jawaban, walau juga bukan jawaban utama. Bukankah terdengar menyedihkan jika memang dia tetap dijadikan alasan anxiety untuk menghadapi anxiety (?). Andaikan tak bisa bilang sepenuhnya, mungkin sedikit. Ada sedikit kekeliruan jika seperti itu. Aku yakin, dari sebagian kecil yang menyebalkan, jauh juga lebih banyak kawan yang benar-benar peduli, aware dan terbuka dengan sisi yang sehat ini. Alih-alih mengkerdikannya. Mengkerdilkan burn-out, depresi & anxiety.

Bagi yang sudah melaluinya, selamat. Jangan lupa untuk rutin memeriksa kanan-kiri, memastikan bersama jika mungkin ada kawan yang ternyata sedang kewalahan dengan fase yang sudah berhasil kamu lewati tadi.  Tapi jika yang sedang ada di tengah kekalutan yang ada, ingat satu anjuran modern-nya : tak pernah apa-apa kalo memang sedang apa-apa. Jalan saja. Pelan tak apa.

. . . . .

Aku memutuskan menambahkan tulisan ini dengan mixtape sebagai penutup. Mixtape ini, mungkin bagi sebagian orang berkomposisikan musik yang itu-itu saja. Tapi track-track ini dalam medium yang berbeda dan cara yang sederhana dan tak sederhana sekaligus dapat menyelamatkan sebagian kecil orang yang sedang melihat sesuatu yang sementara, sesuatu yang bagi mereka tak bisa lagi diselamatkan.

Sepakat sepenuh hati atas pernyataan yang mengatakan jika musik bisa jadi terapi yang paling murah yang pernah ada. Apalagi di tengah kemudahan internet dan akses seperti sekarang. Jika memang kamu juga mulai bersepakat dengan itu. Putar kencang juga musik yang kamu suka dan jangan lupa berbagi kelu-kesah dengan teman-teman sekitarmu juga.

. . .

Hard to Explain : Mixtape Hardcore & Kesehahtan Mental
++++++++++++++++++++++
Have Heart – Ont That Bird in the Cage
Fugazi  – Turnover
Touché Amoré – Hard To Explain
La Dispute – How I feel
Birds in Row – Water Wings
ALICE – In The Name Of Forgiveness, I’ll Be Leaving This Secret With You
Power Trip – When Things Go Wrong
Pianos Become The Teeth – Hiding
Rites of Spring – Deeper than Inside
Unwound – We Invent You

Posted in

Tinggalkan komentar