Menulis Tanpa Takut Sirine

Saya kepikiran mengganti penampilan blog butut dan usang ini. Secara bersamaan, memberinya nama baru. Agar seperti baru saja. Padahal barang lama. 

Bagian memberinya nama baru, ternyata tak baru baru juga pula, ini sudah kepikiran semenjak nama yang sekarang ini adalah nama zine saya 2 tahun lalu. Zine yang sebenernya mestinya dillanjutkan, tapi hanya bertahan satu edisi. Zine yang beberapa draft tulisan berikutnya sebenarnya sudah ada, sempat di layout secara serius, karena memang format + layoutnya sudah terbayang dan rampung. Tapi juga tak kunjung selesai. 

Beberapa waktu belakangan, ada pertanyaan yang kembali muncul. Ada pertanyaan yang membawa pada kesimpulan : Sebenarnya ada kah ruang paling merdeka, emansipatoris dari apa yang saya lakukan. 

Merdeka dan emansipatoris dengan artian benar-benas bebas, dan bebas nilai.

Kesimpulan ini berangkat, dari banyak distraksi yang saya temukan, dan juga kerepotan akannya.

Hampir semua hal yang saya lakukan dan kerjakan sekarang berangkat dari hobi dan kesenangan: dari mendesain, membuat show dan juga membantu band teman untuk melakukan banyak hal (bahasa kerennya manajerial). Saya juga tak menyangka, akhirnya sampai pada titik saya sepenuhnya bisa melakukan apa yang saya sukai sepanjang hari dan sepanjang waktu. 

Menjadikan apa yang saya sukai sebagai pekerjaan. Menjadikan apa yang saya cintai menjadi kerja-kerja untuk hidup, bertahan dan lebih hidup akannya. Bahasa kerennya (lagi), menjadikan hobi jadi pekerjaan.

Kalimat terakhir, terdengar keren di satu tarikan nafas. Namun, jika dicermati ada hal yang lumayan fatal dan cenderung salah. Jika memang hobi akhirnya jadi pekerjaan, jika hal yang berdefinisi (menurut KBBI) “kegemaran; kesenangan istimewa pada waktu senggang, bukan pekerjaan utama” akhirnya menjadi pekerjaan utama, menjadi cara mencari uang. Lantas apalagi hobi yang dipunya? Terakhir saya pastikan, mencari uang tetap jadi keterdesakan di bawah sistem bangsat ini, keterdesakan yang sepertinya tak akan dijadikan hobi. Setidaknya bagi saya.

Hobi jadi sesuatu yang mewaraskan. Bukan malah sebaliknya. 

Pada kasus saya, terutama, mendesain dan membuat show awalnya adalah hobi. Pelarian dari mengerjakan settingan layout saat kerja di sebuah percetakan. Ditambah pelarian lainnya dengan membuat pertunjukkan bersama Spektakel Klab. Lengkaplah hidup. Sisanya tinggal di tarik gasspol saja. 

Namun semenjak, mendesain semakin ke sini (yang mana konsekuensi logis) berkembang jadi sepenuhnya kerja fulltime, sepenuhnya memenuhi ego klien, memuaskan publik, dan menghadirkan yang “layak dijual”, ditambah lagi berikutnya juga dengan membuat pertunjukkan yang bersinggungan di ranah komersil & industri jadi pekerjaan utama. Lumrah saja, akan sampai pada satu momen, lumayan muak untuk mendesain dan membuat pertunjukkan. Sangat awam. Alamiah.

Memang banyak sela-sela diantaranya yang bisa diakalin, dengan selalu mengusahakan ruang sebebasnya untuk membuat desain, atau juga mengerjakan pertunjukkan bersama Spektakel Klab juga jadi obat mujarab. Namun tak bisa dipungkiri, sisi brengseknya dari sistem ekonomi blangsak ini, kita tetap akhirnya didorong untuk bergesekan dengan berbagai kompromi dan juga toleransi untuk membuat banyak hal tetap berjalan dengan stabil. Harus memikirkan beberapa hitung-hitungan, harus menyisipkan “logika industri” paling minimal, walau ruang itu sudah sebebasnya, dengan tetap ada beberapa pertimbangan yang juga mesti dilakukan. Walau jelas saja, mesti dengan koridor dan konsep yang kami sadari dan sepakati sepenuhnya bersama di Spektakel Klab.

Kembali ke penelusuran personal pada diri sendiri tadi, penelusuran dari apa saja yang saya lakukan yang bisa dibilang lumayan terbebas dari jerat kalkulator kapital, penelusuran atas ruang yang lumayan dan mungkin sebenarnya paling merdeka, emansipatoris dari kerja-kerja saya. Sederhananya, penelusuran apa yang akhirnya benar-benar bisa dikategorikan hobi dari kegaitan dan kerja yang sekarang saya lakukan. Jawaban menariknya ternyata malah menulis.

Menulis jadi semacam satu-satunya kerja dari diri saya yang secara sadar dan penuh tidak dikapitalisasi.

Pernah ada beberapa kali kesempatan, tulisan saya dibayar. Ada beberapa kali kesempatan, saya di-hire untuk menulis. Tapi itu hanya benar-benar beberapa kali, masih bisa dihitung dengan jari, mentok-mentok tambahkan jari kaki melengkapi.

Menariknya, dari yang sudah-sudah, dari berbagai transaksi bisnis atas karya kepenulisan saya, semuanya tak pernah direvisi. Yang berarti, mereka sepenuhnya percaya atas apa yang saya kerjakan, mereka sepenuhnya dengan sadar meng-hire saya untuk menulis adalah sekaligus dengan berbagai sisi, karakter dan identifikasi spesifik tulisan saya. Jelas fakta menarik. Satu hal dari saya yang akhirnya bisa dianggap sepenuhnya karya.

Fakta bahwa Menulis jadi bentuk, ruang dan kerja paling emansipatoris yang saya punya sekarang, membuat saya berpikir untuk mengurungkan niat mengkapitalisasi bagian ini. Pertama dan utama, disklaimer lebih awal, karena memang kemampuan menulis saya begitu-begitu saja, dan tak ke mana-mana. Terlebih beberapa tahun terakhir, ketidakdisiplinan saya “membaca” juga begitu-begitu saja. Tak ada penurunan dan peningkatan. Alasan kedua, ketidakdisiplinan akut yang saya punya perihal manajemen waktu personal jelas bukan landasan bagus untuk kerja professional, sempat beberapa kali, beberapa teman meminta  saya menulis uuntuk kebutuhan liner notes, catatan perilisan, atau juga rilis pers bersifat subjektif. Beberapa terpenuhi, sisa beberapa lainnya (yang saya yakin lebih banyak), terang saja tidak terpenuhi.

Alasan berikutnya yang cukup politikal dan filosofis yaitu fakta tadi itu sendiri, fakta yang memang sepertinya layak untuk dipertahankan, fakta yang memang tak boleh diganggu oleh tuntutan-tuntutan deadline tuntutan revisi dan tuntutan bisnis lainnya. Fakta jika Menulis jadi kerja paling bebas nilai yang saya punya.

Karena setelah diingat, dengan tidak dikapitalisasi saja, saya jarang menulis; selain disibukkan dengan berbagai kerja yang ada, saya juga kedapatan menjadi wordsmith di Spektakel Klab. Setidaknya, di sana menulis tetap memang jadi hal menyenangkan, teman-teman Spektakel tak merevisi apapun, selain dari salah-ketik. Dan beberapa kali kadang protest bagian berbelit. Berbelit, karena saya harus menjelaskannya secara singkat, se singkat singkatnya, untuk bisa muat di caption sosial media, atau ringkasan ekpslanatori lainnya. Juga beberapa kesempatan lain, saya menulis untuk lifflet, newsletter, pengantar dan semacamnya. Menulis untuk Spektakel Klab menyenangkan. Tak bisa saya bantah.

Tulisan yang saya maksud jarang, adalah tulisan di blog ini, tulisan untuk zine saya sendiri, atau tulisan untuk newsletter saya sendiri. Tulisan-tulisan yang memang benar personal.

Tidak dikapitalisasi saja, semerawutnya minta ampun. Apalagi sampai akhirnya dikapitalisasi, dan menjadi kerja, kerja menjadi bisnis, dan akhirinya alasannya bergeser, yang tinggal menunggu waktu juga saya benci. Sebagaimana konsekuensi logis atas sesuatu yang awalnya hobi jadi pekerjaan.

Dari ketidakmampuan saya membaca masa depan, satu hal ini sepertinya lumayan jelas tergambar. Dan mesti dihindari sebisa mungkin.

Menemukan fakta jika menulis menjadi kerja individu paling emansipatoris yang saya punya sekarang lumayan melegakan. Jadinya tak perlu mencari hobi lain, tak perlu tiba-tiba memancing, tak perlu tiba-tiba naik gunung. Walau sekali lagi, kemampuan menulis saya juga begitu-begitu saja, dan tak  juga ke mana-mana. Setidaknya, saya kembali dipastikan jika menulis ternyata hal yang bisa membantu saya waras dan stabil, untuk memang  begitu-begitu saja dan tak ke mana-mana.

Posted in

Tinggalkan komentar