Kepada Asmaran Dani : Lebih baik mati terlupakan, daripada dikenang karena menyerah, atau diingat karena menindas.
Sebenarnya. Saya bisa menjawab, jawaban dari kamu dengan banyak versi. Beberapa versi yang mana tetap di aplikasi whatsapp. Pertama, versi singkat mengiyakan. Versi singkat mengiyakan demi menghindari konflik, atau menghindari perdebatan yang memang sering saya hindari, sering saya lakukan. Saya cukup lama tidak begitu keras dengan apa yang saya yakini. Tidak begitu keras untuk coba mendefinisikannya ke orang lain. Keras ke diri sendiri, lain cerita. Bukan karena saya tak benar-benar yakin atas apa yang saya yakini. Malah sebaliknya. Malah sebaliknya dengan juga mengetahui berbagai pertarungan personal dan individu dari setiap orang, perbincangan kontra-produktif jadi seakan bisa jadi benar-benar tidak penting, tapi juga tetap dengan upaya yang sama selalu mendorong membicarakan secara bersama permasalahan kelompok.
Karena menurutku, kurang lebih sepertinya itu yang paling relevan : Permasalahan kelompok harus bisa menjawab permasalahan paling personal. Bukan malah menyingkirkannya secara penuh, atau juga menegasikan secara total. Dan permasalahan individu paling personal terakumulasi bisa jadi kekuatan dan tuntutan konkret itu sendiri.
Kedua, perihal versi jawaban, kepikiran juga versi agak lebih panjang. Tapi tetap di whatsapp. Melontarkan beberapa sanggahan, beberapa hal yang saya yakini (sekali lagi) ; dan jawaban lain yang juga saya tak benar-benar peduli, apa akan kamu amini, atau tidak.
Namun, kamu, memaparkan jawaban dengan cara yang sudah lama tak saya dapatkan. Jawaban dengan tulisan. Sudah jelas ada semacam keharusan tersendiri untuk saya jawab dengan tulisan.
Saya awali dengan beberapa pertanyaan (yang mana saya yakin, bagimu akan sangat sederhana dijawab) : Kamu ingin mati seperti apa? Kamu ingin menjalani hidup dengan bagaimana? Menjalani sepenuhnya yang kamu yakini atas apa yang paling ideal menurutmu? Atau menjalani sesuatu yang berbeda untuk sesuatu yang kamu impikan / ideal nantinya? Menjalani yang relevan, untuk bentuk yang relevan? Atau menjalani dengan cara lain (dahulu) untuk sesuatu yang relevan di ujung nanti?
Entah itu sederhana atau tidak. Tapi kurang dan lebihnya, aku yakin kamu mengerti apa yang dimaksud.
Gerakan rimpang, keserabutan atau juga merawat luka, serta solidaritas, bagi saya personal jadi bentuk & kerja-kerja paling relevan dijalani sekarang. Ketimbang merebut kekuasaan, pimpinan politik, dominasi politik dan hal-hal semacamnya. Jika kembali pada pada perumpamaan Animal Farm : Maksud dari tulisan kamu (koreksi saya kalau salah) adalah untuk akhirnya dapat menjadi domba yang berdamai, mesti jadi babi lebih dahulu dan jadi serigala sesekali di waktu tertentu. Baru akhirnya nanti kita akan menjadi domba yang damai di kemudian hari (?)
Yang mana pada dialektikanya, akan muncul pertanyaan serupa “Tak semua orang ingin jadi domba?” atau “Menjadi serigala yang adil kenapa tidak?” — Logika prematur ke-abu-abuan itu hanya jadi legitimasi dari keculasan sistem yang ada. Dan keculasan itu juga yang mau kamu dan kawan-kawanmu pakai (?)
Lagian, Hukum Rimba yang dimengerti semua orang sekarang juga hasil dari banyak rekayasa. Alat hegomoni lainnya, serupa “Waktu adalah uang” ; Bahwa hukum rimba yang mengisyaratkan yang kuat yang menang adalah manipulasi logika & fakta. Cacat. Di rimba, semua hanya berbagi peran. Semua elemen punya perannya masing-masing. Manusia lah yang hanya ingin menguasai semuanya.
“Merebut kepemimpinan politik adalah tugas yang tak bisa ditunda.” (mengutip kalimat tegas dan kuat di tulisannmu) – adalah omong kosong paling geli geli basah yang tak pernah bisa berhenti membuat saya tertawa. Dan tak pernah gagal masih membuat cengigisan sejauh ini ternyata.
Bagaimana, jika gerakan yang kamu maksud memang tak juga serta merta bertujuan merebut kepemimpinan. Bagaimana jika gerakan yang kamu maksud memang tak pernah juga bicara politik. Bagaimana jika gerakan yang kamu maksud memang tak juga punya benar-benar ingin “menyentuh kekuasaan” (kembali mengutip tulisannmu).
Karena gerakan yang kamu maksud itu sedang & terus mempertanyakan semuanya. Meragukan semuanya. Skeptikal dengan semuanya. Dan hendak ingin menghancurkan semuanya. Menghancurkan logika kepemimpinan itu sendiri, menghancurkan logika politik itu sendiri, menghancurkan logika kekuasaan itu sendiri.
Jelas sampai sini semua kalimat benar-benar seakan terbaca utopis.
Namun fakta berkata lain. Gajah tak pernah menginjak rumah, atau harimau tak pernah masuk ke perkampungan. Sebaliknya, jika rumah dan perkampungan itu yang memang sudah melanggar terlalu jauh, (atau mungkin) terlalu dalam. Warga Sukahaji sekarang yang melawan setan tanah dan secara bersamaan malah ditetapkan tersangka; atau Petani Kawulo Alit Dayunan Kendal sedang pada puncak perperangannya untuk mempertahankan tanah warisan leluhur mereka yang akan dieksekusi. Atau juga Paguyuban Masyarakat Adat Maba Sangaji berjibaku melawan perampasan tanah dan tambang, yang mana serupa api yang sama yang bergejolak lama di Halmahera.
Atau kelompok-kelompok kecil kreatif kepemudaan yang mengusahakan kemandirian untuk melakukan banyak hal tanpa kooptasi korporasi dan pemodal pihak ketiga yang tak ada urusan; berikut juga dengan masyarakat tengah kota yang berdinamika, bermasalah, menemukan solusi dan kendala melawan penggusuran, ekspansi modal serta kemiskinan bersamaan.
Mengutip kamu pada tulisan kamu sendiri (lagi) (di paragraf 15), yang sebagian tadi itu semua saya sebutkan sedang tidak ingin “membayangkan ulang kekuasaan, dan bahkan untuk merebutnya dari kelompok status quo” , namun “demi kehidupan yang adil, sejahtera dan kemakmuran untuk semua” – secara langsung, dari hari ke hari, tanpa basa-basi, tanpa janji, tanpa pengharapan surga, neraka dan havana apapun nanti.
Izin untuk merevisi paragraf ke-15 tulisan kamu itu dengan cara lebih baik dan nyata. Menghilangkan beberapa kata saja ternyata dapat berarti sangat berbeda. Begitu juga sepertinya, jika kita coba menghilangkan hasrat menjadi serigala, menghilangkan impian bergumul dengan pihak berseberangan, dan menjadi musuh lain yang bisa saja dihilangkan untuk sesuatu yang lebih relevan dan nyata.
Tawaran itu yang dimaksud. Tawaran untuk sesuatu yang lebih relevan dan nyata. Sesuatu yang tidak menduplikasi janji-janji pemilu, candu-candu akhirat, dan harapan-harapan baik yang hanya ingin menutup kelakuan culas. Bukan tawaran yang kamu selipkan di esaimu dengan point “instrument politik” — Apa yang mesti diduplikasi dari instrumen politik beracun, culas, dan menindas. Medium is the message. Kamu tak bisa benar-benar membuat pempek tanpa terigu, atau cuko tanpa gula merah. Apa yang kamu harapkan dari sesuatu yang relevan, berpihak pada rakyat, demi keadilan tapi dengan instrumen politik kekuasaan (?)
Mengharap mendapatkan mangga dengan menanam duku?
Ketimbang merebut kekuasaan & dominasi politik : bagaimana dengan tawaran untuk merebut hidup itu sepenuhnya. Tawaran akan merebut pilihan itu sepenuhnya. Tawaran menghidupi pilihan itu sebenarnya. Bukan nanti. Bukan ketika “jika nanti” — tapi hari ini, sepenuhnya hari ini. Merebut hari, hari ini.
Karena kita bukan mereka, kita bukan hendak merebut apa yang mereka punya, tapi mempertahankan apa yang memang kita punya. Yang mana kita akan selalu berseberangan. Dan menurut hematku, kita juga tak mau jadi mereka. Atau kamu ternyata memang mau (?)
Dan kita bukan sekedar bertahan karena terdesak. Karena serangan terbaik kita adalah dengan bertahan. Karena mereka takut jika kita bertahan. Dan karena bertahan jadi bentuk cinta paling liar dan nyata.
Tak ada pemerintah yang benar-benar merepresentasikan rakyat. Pemerintah adalah pemerintah. Dan rakyat adalah rakyat. Dan bahwasannya lebih baik mati terlupakan, daripada diingat karena menyerah dan mencoba culas dengan cara berbeda, daripada dikenang berpihak pada yang tak relevan dengan tegas & nyata.
Tugas kita yang berseberangan adalah menjaga kawanan dan siapapun di pihak yang sama. Bersolidaritas, berlawan, dan hidup. Menghidupi pilihan, memilih hidup sepenuhnya. Saling menguatkan. Bukan untuk akhirnya coba berusaha keras berpihak pada mereka demi tujuan yang baik.
Innamal a’malu binniyat and the result not justify ends karena proses adalah segalanya.
Coba kamu pikirkan pelan lagi perlahan.
.
.
.
==================
The Context :
Tulisan Dani bisa dibaca di sini https://substack.com/inbox/post/169626903 — Saya mesti membersamai tulisan ini dengan konteks dan disklaimer : Dani adalah satu teman baik saya. Kami dekat tak dekat. Belakangan beberapa tahun terakhir, malah kami sangat jarang bertemu. Karena Dani punya tanggung jawab barunya. Saya menghormati Dani di banyak aspek, meski kami sangat banyak hal yang berseberangan. Begitupun setelah tulisan ini. Karena saya tau Dani bagaimana. Saya tetap menaruh respek yang sama, malah lebih besar mungkin kedepannya.
Saya menjawab tulisan Dani, dengan lumayan terburu-buru. Kurang dari 3 jam dari dia mengirim tulisannya. Mungkin banyak yang loncat, atau malah beberapa point di tulisan Dani tak saya respon rinci dengan benar. Tapi saya yakin sudah saya coba respon secara garis besar.
Dani juga menambahkan concern dia pada banyak gerakan yang menghamba pada lembaga donor dengan dalih “saving” – di point ini saya juga punya banyak sepakatnya. Dan saya selipkan dengan kemandirian. Kemandirian yang banyak berhasil di banyak kelompok, yang Dani juga tau. Dan membahas kemandirian, jadi persoalan lain. Mungkin akan saya tuliskan di lain hari.

Tinggalkan komentar